Rabu, 11 April 2012

April 10th, 2012

Kemarin, aku ikut lomba debat.

Bentar. Sebenarnya, aku ikut 2 lomba debat bahasa Inggris. Tapi biar ini dulu yang aku ceritain, deh.

Pagi itu, aku sudah duduk seperti anak hilang di bangku dekat lapangan basket. Berkali-kali aku ngecek handphone, barangkali Ave atau Hafidh SMS aku atau apa. Habis, aku (sengaja) saltum, sih. Di mana temen-temen seangkatanku hari ini fieldtrip, aku, Ave, dan Hafidh terpaksa harus ke SMPN 21 demi menunaikan tugas negara ngikutin lomba debat Bahasa Inggris. Yah, walaupun gitu, dibawa senang aja deh, hehe.

Sebelum berangkat ke SMP 21, kami pamit sama guru-guru. Haha, kesannya gimanaaaa gitu. Tapi mendengar mereka bilang, "Sukses, ya!" duh... rasanya senang banget. Apalagi dikasih semangat sama adik-adik kelas dan temen-temen.
And it seems like the world look at me. Once.

Kami berangkat ke 21. Biasa aja sih sebenarnya. Cuma yaaaa, gitu deh. Nervous pasti ada. Tapi sih kita sok-sokan berani aja. Saking muaknya, aku nggak mau baca materi debatnya... seenggaknya, di perjalanan ke SMP 21.

Sampai di sana.

Ini pertama kalinya aku ke SMP 21. And that school isn't the same like what I've expected. Ternyata bangunannya lebih luas dari yang kukira. Aku masuk ke dalam, dan menuju meja daftar ulang. Tim kami dapet nomor urut 13.

Hafidh: "Aduh, kenapa dapet nomer 13 sih. 13 kan angka sial."
Mitha: "Apa, Fidh? Bisa diulangi?"
Hafidh: "13 itu angka sial..."
Mitha: "Fidh, 13 itu tanggal lahirku..." 

-____________-"

Lupakan sajalah. Jadi, waktu kami lagi daftar ulang, aku nggak sengaja lihat tim debat dari 21.

Sheyla, Rizal, dan Aiz. Muehehehe.

Oh, aku belum bilang kalau mereka ikut, ya? Maaf deh.

Jadi gini, beberapa minggu sebelum lomba, mereka--Rizal dan Aiz--SMS aku kalau mereka kepilih ikut lomba debat dan satu tim sama Sheyla, teman LIA-ku. Woaaaaah, jadi berasa keren gitu, kalau seandainya sekolahku dan dia berdebat. Hmmm.

Rizal sih cuma meringis aja, dan Aiz kayaknya acuh tak acuh gitu. Sempat lihat Sheyla sekilas dari belakang. Huahaha.

Terus kami naik ke lantai 2, ke aula. Ada pembukaan--yang bikin ngantuk--dan teknis acaranya. Wuah, untung semalam tanya Rizal. Soalnya kalau lihat suratnya, rada nggak jelas gitu. Untung babak pertama cuma lempar argumen doang. Belum benar-benar debat.

Sebenarnya, aku speaker 1, Hafidh speaker 2, dan Ave speaker 3. Tapi khusus babak penyisihan ini, diganti. Hafidh 1, Ave 2, aku 3. Ya, nggak apa-apa deh. Soalnya, speaker 1 tugasnya nanti menyampaikan argumen pro, 2 kontra, dan 3 kesimpulannya.

Dari 29 tim, dibagi jadi 4 grup. Grup A, B, C, dan D. Karena kami tim 13, kami masuk grup B. Saingannya, masya Allaaaaah. Domenico Savio, Eka Sakti, blah blah. Sempat minder, tapi aku selalu inget hadits bahwa Allah itu tergantung prasangka hamba-Nya. Jadi, aku berusaha ber-positive thinking aja. Kali aja kami dikasih miracle apa gitu sama Allah, terus masuk babak selanjutnya :)

Kelompok B disuruh masuk dulu buat briefing. Yah, tahu lah, nanti kami diundi dapet motion apa, dst, dst. Kami nunggu di luar ruangan. Tak lama berselang, kami masuk ke kelas itu lagi. Dapet motion nomor 11: punish parents for crimes done by their children. Hukum orangtua atas kesalahan (kriminal?) yang dilakukan anak mereka. Alhamdulillah, lumayan. Kami pun nunggu giliran dengan deg-degan dan... yah, sedikiiiit pasrah. Itu kalau aku. Yang lain, entahlah ya.

Akhirnya, the moment came. May the odds be ever in your favor. Let the game begin!


"Okay, first speaker, the time is yours!"


Hafidh memulai dengan lancar. Tentu saja dengan aksen British-nya--yang menurut Sheyla bener-bener natural--itu. Pertama, dia memperkenalkan asal sekolah kami, siapa saja anggota timnya. Untungnya, dia nyebut nama lengkapku dengan benar. Well, nama kami bertiga memang rada susah untuk langsung diingat. Aku aja sempat lihat di form daftar ulang, namaku salah tulis. Sialan.

Pertama, sih, argumennya masih nyambung. Makin ke sini, err... sepertinya Hafidh salah persepsi. Yang harusnya motion tadi itu, dia malah nyasar ke pernyataan bahwa "orangtua menghukum anak atas kesalahannya". Waduh, aku dan Ave pandang-pandangan, keringat dingin. Aku sih sebenarnya agak panik, hanya saja aku yakin bisa sedikit memutarbalikkan argumen mereka. Amin.

Ave lancaaaar. Argumennya lumayan jelas. Aku cuma bisa mencatat ide-ide mereka dengan agak gugup di kertas. Semoga saja...

Ah, my time is come. Sambil menarik napas, aku membuka pembicaraanku dengan salam, dan kemudian aku mengulang dan menyimpulkan argumen mereka. Agak amburadul, ya. Hehe. Tapi lumayan, kok.

Kami keluar juga, akhirnya. Stres, kami duduk di koridor kelas 9. Terus sih, kami ngobrol santai aja. Sekalian mengevaluasi yang barusan. Aku dan Ave jalan-jalan ke lantai bawah, dan... oh ya, aku belum bilang kalau aku ketemu Dimar, ya? Hehe. Jadi, Dimar kepilih jadi salah satu wakil dari SMP 3. Asyik, kami bisa reuni kecil-kecilan! Yeah, reuni yang benar-benar keeeeciiiiillll.

Karena nggak tahu mau ngapain, kami naik lagi ke lantai 2 dan duduk lagi. Bosan. Bosan. Bosan.

Pengumuman babak selanjutnya, sekitar jam... bentar, jam berapa ya? Mepet Zuhur kalau nggak salah. Kami sih bawaannya udah pasrah aja. Dilema, antara pengen masuk babak selanjutnya dan pengen pulang. Aaaarrrggghhh.

Jadi gini, dari tiap kelompok dipilih 2 tim terbaik yang bakal bertarung di babak selanjutnya--babak eliminasi. Nah, di babak eliminasi ini bakal dipilih lagi 4 tim yang maju ke babak final. Gitu. Rempong, ya? Nggak ding.

Mulai dibacain. Jeng jeng jeng.

Tentu saja kami nggak masuk babak selanjutnya. Sedih pasti ada, kecewa pasti ada. More than that, we're felt guilty to Mr Atok. Kami (baca: AKU) belum bisa ngasih sesuatu ke sekolah ;___;

Dimar juga nggak masuk babak selanjutnya. Jadilah, kami bertukar cerita tentang kehidupan SMP kami. Asyik banget. Ternyata kami masih nyambung, hihihi. Terus Aiz dan Rizal gabung. Ngobrol bareng. Sayang, mereka cuma join bareng bentar karena harus latihan lagi. Yaaaah.

(continued to the next part!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar