Sabtu, 11 Desember 2010

Pertempuran Hetalia Gakuen

A/N : Wow! Crossover Harry Potter-Hetalia pertama yang berbahasa Indonesia! Hahaha. Waktu itu saya iseng nyari crossover Hetalia-Harry Potter dan… GAK ADA YANG PAKE BAHASA INDONESIA! Maka dari itu, saya—Rara-san, selaku pecinta berat Harry Potter dan Hetalia, memutuskan untuk membuat fanfic crossover HetaHarPot berbahasa Indonesia! :) Enjoy, readers!
###
#Prolog#

“Alfred F. Jones, Tuan?”

“Ya, dia. Dia yang kuinginkan.”

“T-tapi… kenapa dia, Tuanku?”

“Dia punya kekuatan… kekuatan yang bisa mengalahkanku.”

“Di mana dia tinggal, Yang Mulia?”

“Di sebuah sekolah berasrama—bukan Hogwarts, tentu—tapi sebuah sekolah yang bernama…

Hetalia Gakuen.”

###

-Pertempuran Hetalia Gakuen-
Harry Potter © J.K. Rowling
Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya
This fic © Rara-san—mine

###

Antonio Fernandez Carriedo, pemuda Spanyol berambut cokelat berantakan itu, tengah memandang jendela dengan ekspresi yang aneh di wajahnya. Lalu, ia berbalik, menatap mata cokelat Lovino Vargas, yang sedang bersandar di dinding dengan ekspresi tak peduli pada wajahnya. Mata hijau Antonio menyiratkan keheranan, kebingungan, dan ragu-ragu, semua jadi satu.

“Apa?” gertak Lovino kasar. “Kalau kau memintaku menyuapimu dengan tomat, aku…”

“Lovino,” potong Antonio pelan, mengabaikan gertakan Lovino. “Lihat ke jendela. Apakah kau… pernah melihat… sesuatu seperti itu?” Antonio menunjuk sesuatu yang meluncur di angkasa, berwarna hitam.

Lovino terperangah. Belum pernah, seumur hidupnya, ia melihat meteor (yah, dia yakin itu meteor) yang berwarna hitam. Dan… meteor itu… meluncur ke Hetalia Gakuen! Ke arah mereka!

Kedua mata itu—hijau dan cokelat—sontak melebar dalam kengerian dan keterkejutan. Antonio segera bertindak cepat.

“LARI, LOVINO!” teriak Antonio spontan, menarik lengan Lovino dan mengajaknya pergi, berlari meninggalkan kelas yang kosong itu. Lovino, sudah panik dan kalut, hanya menurut dan ikut berlari, menghindari meteor hitam itu.

DUAR!

Antonio dan Lovino terlempar ke depan dan terjatuh ketika meteor hitam itu menghantam koridor Hetalia Gakuen, beberapa meter di belakang mereka.

###

Hetalia Gakuen gempar. Sebuah meteor hitam—entah apa itu—baru saja menghantam sekolah mereka.

Arthur Kirkland dan Seychelles berlari menyusuri koridor, menuju sumber suara ledakan barusan. Dilihatnya Antonio dan Lovino terkapar di lantai, dengan reruntuhan berserakan di sekitar mereka. Ia dan Seychelles berusaha membangunkan kedua orang itu.

“Antonio! Antonio!” seru Arthur sambil mengguncang-guncang tubuh Antonio yang tampaknya tak sadar itu. Sementara itu, meteor-meteor hitam lain meluncur ke arah Hetalia Gakuen dan menghantam sekolah itu. Menyebabkan kepanikan.

“Arthur?” bisik Antonio pelan. “Kaukah itu?”

“Ya, ini aku!” jawab Arthur. Di sebelahnya, Seychelles sudah berhasil membangunkan Lovino dan mendudukkannya. Lovino tampak sangat terpukul. Tubuhnya gemetar.

“Antonio? Cepat bangun! Lari, selamatkan dirimu!” kata Arthur.

Tiba-tiba, dari balik kepulan debu, melangkah Severus Snape. Mata hitamnya yang dingin menyapu keempat orang yang duduk di hadapannya. Arthur berdiri, maju menghadapi Snape.

“Kau… Severus Snape?” tanyanya.

“Apa aku mengenalmu?” tanya Snape dingin sambil mencabut tongkatnya.

“Tidak,” jawab Arthur tegas, “tapi aku mengenalmu. Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini?”

Kau Kirkland, kan?” tebak Snape.

“Betul,” jawab Arthur ketus.

“Tuanku menginginkan temanmu. Alfred F. Jones,” kata Snape perlahan. Arthur terkesiap.

“Al—Alfred?” kata Arthur terkejut. “Tapi kenapa?”

Di belakangnya, Seychelles, Antonio, dan Lovino juga terkejut. Mereka berempat terpaku. Tidak mungkin Alfred, Arthur pasti salah dengar…

Snape mendengus. “Untuk alasan yang dirahasiakan oleh Tuanku,” jawabnya sederhana. “Dan Tuanku berkata, aku dan Pelahap Maut yang lain boleh membunuh dan menyiksa orang-orang yang berusaha menyembunyikan dan menghalangi Jones dari pandangan Tuanku.”

Mata Arthur menyipit. “Itu artinya, kau—“

Kata-kata Arthur terpotong oleh Lovino yang berteriak, “Sori, tapi ‘Tuanmu’ itu siapa?!” tanyanya menantang. Arthur langsung menatap Lovino dengan pandangan jangan-menanyakan-hal-semacam-itu-pada-orang-seperti-dia.

“Dia, tidak lain dan tidak bukan, adalah,” Snape sengaja menggantung kata-katanya. Arthur mengawasi dengan waspada. Di balik punggungnya, ia berusaha memberi isyarat menggunakan tangannya pada Seychelles, Antonio, dan Lovino agar pergi. Namun Seychelles menggeleng kuat-kuat; ia tak ingin pergi meninggalkan Arthur sendirian.

“Penyihir paling hebat di dunia, Lord Voldemort,” lanjut Snape tenang. Tanpa diduga-duga, setelah mengucapkan kalimat itu, Snape langsung mengangkat tongkatnya dan berseru, “Sectumsempra!”

“AWAS!” teriak Arthur, menyambar ketiga orang di belakangnya, dan melempar dirinya ke samping, menyembunyikan mereka berempat dari pandangan Snape. Kutukan Snape meleset; kutukannya menghantam tembok dan reruntuhannya mengenai mereka. Seychelles merintih: lengannya terkena reruntuhan dan berdarah. Arthur segera bertindak. Ia berkata dengan napas memburu seraya membalut luka Seychelles dengan peralatan seadanya.

“Dengar ini: kalian bertiga harus pergi, pergi menjauh dari sini! Lari! Aku tidak ingin ada yang mati karena ini!” kata Arthur cepat. “Setelah ini, akan datang lebih banyak Pelahap Maut untuk membantai kita semua!”

Seychelles menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Antonio dan Lovino mendengarkan dengan wajah tegang.

“K—kau sendiri?” tanya Seychelles.

“Aku akan melawan Snape. Kalian, cobalah untuk mengontak Alfred—“

“Tapi kan si Snape sialan dan kawan-kawannya itu mengincar si maniak hamburger!” potong Lovino.

“Dan kau akan melawan Snape sendirian?” kata Antonio tak percaya.

“Diam dulu! Dengarkan aku: cobalah untuk mengontak Alfred, katakan padanya, sekolah kita diserang oleh para Pelahap Maut yang datang untuk mencari dirinya. Katakan, dia harus lari, harus bersembunyi! Tapi, cegah dia datang ke sini. Karena, kalau dia ke sini, maka…” kata-kata Arthur terputus. Suaranya jadi parau aneh ketika dia melanjutkan, “…dia akan terbunuh oleh Pelahap Maut.”

DUAR!

Lagi-lagi, kutukan yang meleset. Menghantam tembok. Mereka berdiri, menghindari reruntuhan.

“Pergilah!” desak Arthur. Mereka bertiga pergi, meninggalkan Arthur sendirian. Dengan tegar, Arthur berdiri, kemudian maju menghadapi Snape.

“Alfred sedang tidak ada di sini,” kata Arthur pelan. Snape menatapnya tajam.

“Aku tahu itu,” jawabnya, kemudian berkata. “Dia pasti akan datang ke sini, aku yakin.”

“Oh, bagaimana kau bisa yakin?” tanya Arthur.

“Aku tahu sifatnya yang tersembunyi, yang tidak kauketahui,” jawab Snape sederhana. Meskipun Arthur tidak mengerti.

Tiba-tiba saja, Snape berseru, “Crucio!”

Arthur terhempas. Terkena kutukan Cruciatus, sungguh menyakitkan. Teriakan Arthur bergaung, ia tak bisa melawan…

Levicorpus!” teriak seseorang. Samar-samar, Arthur mengenalinya sebagai suara Peter Kirkland—adiknya.

Tapi, dengan cepat Snape menangkis mantra itu dan membuat Peter terjungkal. Arthur terengah-engah; kutukan itu telah diangkat oleh Snape, namun sensasi menyakitkan itu masih menderanya.

Jerk! Jerk, kau tidak apa-apa?” kata Peter. Anak itu, di tengah situasi seperti ini masih saja berkata yang tidak sopan.

“A-aku tidak apa-apa!” jawab Arthur terengah. Di depan mereka, Snape menyeringai. Ia mengangkat tongkatnya, namun kalah cepat dengan Peter.

Petrificus Totalus!” teriaknya. Seketika itu juga, Snape roboh. Arthur memandang adiknya penuh kekaguman.

Thanks!” katanya. Peter hanya nyengir.

“Jerk, ini hanya satu Pelahap Maut, lebih banyak lagi Pelahap Maut di sana!”

###

“Ouch!”

Antonio dan Lovino berpisah dengan Seychelles beberapa saat yang lalu. Antonio menabrak seseorang. Francis Bonnefoy dan Gilbert Beilschmidt.

“Francis! Gilbert!” kata Antonio lega.

“Oh, kalian berdua! Syukurlah, kalian tak apa-apa!” kata Gilbert sambil merangkul Antonio. Antonio tersenyum lemah.

“Apa yang terjadi? Kau habis diserang?” tanya Francis.

Antonio menatapnya panik.

“Tak ada waktu untuk menjelaskan—ayo, kita harus pergi, kita harus melarikan diri!” ajaknya. Maka keempat orang itu berlari, sampai berhadapan dengan…

Tiga orang Pelahap Maut. Avery, Nott, dan Dolohov.

“Mau ke mana?” tanya Avery.

“Kabur! Kalian mau apa, hah? Melawan diriku yang sangat awesome ini?!” serang Gilbert. Mata Nott menyipit.

“Kabur?” desisnya perlahan. Antonio, Lovino, dan Francis memandang mereka dengan waspada.

Expulso!” raung Dolohov. Dinding di sebelah mereka meledak; hampir saja mengenai mereka jika Gilbert tidak cepat-cepat menyambar mereka.

Mereka menghindar. Antonio dan Lovino segera menyerang Dolohov. Francis menyerang Avery, dan Gilbert berduel dengan Nott.

Crucio!” teriak Dolohov. Lovino menjerit. Ia terkena kutukan Cruciatus.

“LOVINO!” teriak Antonio. Dengan murka, ia mengayunkan kapaknya. Sementara itu, Francis dan Gilbert mengayun-ayunkan pedangnya dengan bengis.

Sectumsempra!” teriak Nott. Gilbert berkelit. Kemudian…

Protego!” seru Francis. Seketika itu juga, tameng tak terlihat langsung muncul di antara Gilbert dan Nott. Gilbert terlindungi.

Danke, Francis!” katanya lega. “Oh! Darimana kau belajar sihir? Setahuku hanya Arthur dan saudara-saudaranya yang bisa sihir!” lanjutnya.

Francis langsung mengeluarkan tongkatnya. “Di tempatku juga ada sekolah sihir! (1) Kau lupa?” katanya di antara teriakan mantra-mantra.

Expelliarmus!” Francis mengarahkan tongkatnya ke arah Nott. Tongkat Nott terbang, dan ditangkap Francis dengan cemerlang.
“Gunakan ini,” gumam Francis, menyorongkan tongkat Nott ke tangan Gilbert.

Stupefy!” teriak Francis, mem-Bius Avery. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Dolohov. Francis segera mengambil tongkat Avery dan Dolohov, kemudian memberikannya ke Antonio dan Lovino.

“Pakai ini untuk melawan mereka—para Pelahap Maut itu!” kata Francis, kemudian ia pergi.

“FRANCIS!” teriak Gilbert, namun Francis sudah keburu pergi. Ia menoleh ke Antonio dan Lovino.

“Kita berpisah,” gumamnya pelan.

###

Dua pria Asia itu berlarian dengan panik. Di sekitar mereka, banyak yang sudah bertarung. Namun mereka belum bisa melakukan apa-apa. Mereka melihat Vash Zwingly dan adiknya, Lili Zwingly—tengah berduel dengan Amycus dan Alecto Carrow.

“Awas, Lili!” teriak Vash. Amycus menyeringai, kemudian berseru, “Stupefy!”

“AAAAAHHH!” Vash menjerit. Lalu ambruk.

“KAKAK!” teriak Lili panik. Mantra Bius yang diluncurkan Amycus membuat Vash dan senapannya tak berdaya. Vash pingsan.

“Hahaha. Sekarang, kau jadi milikku, gadis manis,” kata Alecto, mengangkat tongkatnya, siap menyerang. Honda Kiku langsung menyerang tanpa tedeng aling-aling—katananya menghantam belakang kepala Alecto dan dia pingsan.

“Oh… Kiku nii-san! Terima kasih!” kata Lili. Kiku mengangguk singkat.

“Lili-kun. Pergilah dari sini. Rawat kakakmu,” kata Kiku singkat. Lili mengangguk, lalu membawa kakaknya dengan hati-hati. Kiku terdiam sejenak. Lalu ia menoleh ke seseorang di sampingnya. Wang Yao.

“Yao-san! Bantu aku melawannya!” desak Kiku.

“Aku… oh… baiklah, aru…” kata Yao ragu-ragu. Dengan cepat, ia menghadapi Amycus yang sendirian.

“AIYAAAAAHH!” seru Yao, mengeluarkan jurus bela dirinya.

“AAAAARRRGGGHH!” teriak Amycus. Namun jurus bela diri Yao tak mempan. Tangan Amycus meraih kaki Yao dan mengangkatnya. Yao berteriak.

“AAAAAHH! APA-APAAN INI, ARU!!” teriak Yao panik. Kiku langsung bertindak. Ditebaskannya katana miliknya ke arah Amycus. Berhasil—Amycus melepaskan pegangannya. Yao dan Kiku, terengah-engah, menatap Amycus. Bagaimana caranya mengalahkan dia?

STUPEFY!” teriak seseorang. Amycus langsung roboh. Yao menoleh.
“Ivan?”

Ivan Braginsky, dengan wajah murka, berdiri di belakang Amycus yang roboh. Wajahnya tampak lelah.

“Ya, ini aku! Kalian, pergilah. Aku ingin menikmati membunuh Pelahap Maut!” katanya sengit, kemudian melangkahi Amycus, berjongkok hingga wajahnya hanya tinggal beberapa senti dari wajah Amycus, dan mendesiskan Kutukan Kematian padanya.
Avada Kedavra.”

Yao menjerit. Kiku mencengkeram lengan Yao dengan kalut. Amycus Carrow telah mati. Ivan berdiri.

“Apa?” tanyanya galak, melihat ekspresi di wajah Yao. Yao menggeleng perlahan. Ia terlalu takut.

“Ini,” kata Ivan kasar, segala ke-yandere-annya menguap. Sisi garangnya mulai keluar. Ia mengeluarkan dua batang tongkat sihir. Dengan ragu-ragu, Yao dan Kiku mengambilnya.

“Untuk apa ini, aru?” tanya Yao heran.

“Itu,” kata Ivan, “untuk mengalahkan para Pelahap Maut!”

“Sudah berapa banyak… Pelahap Maut yang kaubunuh, Ivan-san?” tanya Kiku takut-takut.

“Oh, banyak,” kata Ivan dingin. Lalu, ia pergi begitu saja. Kiku dan Yao hanya menatapnya bingung.

###

“Kakak? Kakak? Kak Vash, kau mendengarku?” bisik Lili. Air mata mengalir dari kedua mata hijaunya yang besar. Vash masih saja tak sadar.

“Lili?” panggil seseorang. Lili menoleh.

Elizaveta Hedervary dan Roderich Edelstein.

“E—Elizaveta nee-san?” bisik Lili takut.

“A—apa itu Vash?” tanya Elizaveta. Ia mendekat.

“Y—ya,” jawab Lili sesenggukan. Elizaveta memeluk Lili.

“Kau harus berlindung, Lili. Mereka akan mudah menyerangmu kalau Vash tak berdaya seperti ini!” kata Roderich. Pembawaannya yang elegan mendadak hilang. Semua orang sekarang ini sedang panik, kalut. Tak sempat memikirkan untuk menjaga kewibawaannya.

“Roderich, tolong bawa Vash ke tempat yang aman,” kata Elizaveta. Roderich mengangguk. Ia menggotong Vash, kemudian berlari. Elizaveta dan Lili berpandangan.

“Ayo, kita pergi,” gumam Elizaveta sambil menggamit lengan Lili dan mengajaknya pergi. Namun, baru beberapa langkah, Lili menyadari ada orang yang bergerak di belakangnya. Ia melirik ke belakang.

Seorang perempuan, dengan rambut awut-awutan dan berpelupuk tebal, berlari menuju mereka dengan senyum bengis.

“AWAS, ELIZAVETA NEE-SAN!” teriak Lili.

Terlambat.

Bellatrix Lestrange, perempuan itu, tertawa nyaring sambil meluncurkan Kutukan Cruciatus pada mereka berdua. Namun…

PROTEGO!” raung seseorang. Kutukan itu memantul. Bellatrix menghindar. Elizaveta menoleh.

“G-Gilbert?” bisiknya.

Mengabaikan Elizaveta, Gilbert langsung menyerang, “Stupefy! Aku tidak akan membiarkan Elizaveta mati di tanganmu!

Bellatrix menangkis mantra Gilbert. Dengan wajah sangar, ia semakin maju.
“Kalian, mau mencoba mati?” tawarnya, wajahnya dibuat semanis mungkin.

“Kenapa tidak?” jawab Gilbert. “Aku punya tongkat, dan kau juga. Ayo duel.”

Setelah itu, ia mendesis pada Elizaveta dan Lili, “Lari.”

Bellatrix tertawa. “Ayo. Kau akan mati di tanganku, sampah albino!”

Gilbert, merasa marah mendengar perkataan Bellatrix, mencabut tongkat sihirnya.

“BERANI-BERANINYA KAU MEMANGGIL DIRIKU YANG AWESOME INI DENGAN SEBUTAN SAMPAH, PENYIHIR TUA?!” teriak Gilbert.

“BERANI-BERANINYA KAU MEMANGGILKU PENYIHIR TUA!” balas Bellatrix, tak kalah murka.

Duel antara Gilbert dan Bellatrix pun tak terelakkan.

###

Norway dan Iceland berlarian dengan panik. Gosh, ia tidak bisa memanggil troll­-nya. Kalau saja bisa, pasti ia sudah bisa melawan para Pelahap Maut itu!

Avada Kedavra!” teriak seseorang. Norway dan Iceland menoleh. Kilatan hijau meluncur ke arah mereka.

“AWAS!” Mathias Kohler, pemuda Denmark itu, mendorong Norway dan Iceland minggir. Mantra itu sedikit menyerempetnya—untungnya tidak mengenainya, untunglah…

Mathias berdiri, menghadapi Lucius Malfoy. Malfoy membuka mulutnya, namun kalah cepat dengan Mathias.

Tarantallegra!” teriak Mathias. Tiba-tiba, Malfoy sudah menari-nari tap tanpa kendali. Mantra itu membuat Malfoy menari tap tanpa bisa ia kendalikan.

“Nah,” katanya puas. “Norge, Iceland! Ayo, ikut aku! Oh, Norge! Aku baru ingat: mana Troll-mu?”

“Itulah. Aku—tak—bisa—memanggilnya!” kata Norway tersengal. “Dan aku tak punya—tongkat—sihir!”

“Ah,” kata Mathias, seakan dia baru menyadari sesuatu, “ini.”

Mathias mengeluarkan sebatang tongkat. Norway menerimanya dengan ragu.

“Tapi… ini… punya siapa?”

“Tak jadi urusanmu. Kulucuti dari salah satu Pelahap Maut,” kata Mathias.

“Gila… apa sih yang mereka cari dari sekolah ini?” tanya Iceland heran.

“Mereka mencari Alfred F. Jones,” jawab Mathias.

“APA?” teriak Norway—di luar kebiasaannya. Wajah innocent-nya menguap seketika.

“Awalnya aku juga tidak percaya. Tapi masa bodoh, mereka sekarang sedang berusaha menghancurkan sekolah kita!” kata Mathias panik.

Sementara itu, rupanya Lucius Malfoy telah kembali seperti semula.

AVADA KEDAVRA!” Lucius Malfoy berteriak. Kutukannya menghantam langit-langit, membuatnya runtuh.

“AAAAH!” Mathias, Norway, dan Iceland terkubur reruntuhan.

###

Matthew Williams, pemuda bermata violet itu, berusaha mencari dan mengontak adiknya, Alfred. Ke mana dia? Kenapa orang-orang ini—Pelahap Maut, begitu mereka menyebut diri mereka—mencari adiknya?

“ALFRED! ALFRED!” teriak Matthew cemas.

“Matthew!” panggil seseorang. Matthew menoleh. Tampak Ludwig dan Feliciano Vargas berlari ke arahnya.
“Matthew, apa yang terjadi?” tanya Ludwig. Ia tampak bingung.

“M—mereka mencari Alfred!” kata Matthew panik.

“Ve? Alfred?” ulang Feliciano.

“Ya, Alfred! A—aku sedang berusaha mengontaknya, mengatakan padanya agar jangan ke sini, aku—“

“Kau mengontak Jones?” kata-kata Matthew terpotong oleh seseorang. Ludwig menoleh.

Igor Karkaroff. Menyeringai sambil memamerkan giginya yang kuning tak rata. Sambil mengelus jenggot kambingnya ia berkata, “Wah. Tuanku akan murka kalau tahu kalian menyembunyikan Jones. Dan kalian akan berada dalam kesulitan.”

“Apa yang kau maksud? Apa urusanmu dengan semua ini?” tanya Ludwig. Feliciano gemetar ketakutan.

“Tuanku berkata: para Pelahap Maut boleh membunuh semua orang di sekolah ini, asal Jones tidak mati! Tuanku menginginkan Jones!” Karkaroff langsung menyerang.

Crucio!” teriaknya. Feliciano langsung bersembunyi ketakutan di balik punggung Ludwig.

“VEEEEE! LUDWIG! LINDUNGI AKUUUUU!” jerit Feliciano.

Ludwig membawa Feliciano dan Matthew pergi. Sementara itu, Karkaroff mengejar mereka seperti orang kesetanan.

“Kembali! Kembali! LAWAN AKU, PENGECUT!”

Telinga Ludwig berdiri. Apalagi Feliciano. Entah kenapa dirinya tak terima dihina seperti itu. Mereka berhenti, kemudian berbalik.
(to be continued...)

A/N: (1) Tahu, kan, sekolah sihir di Prancis itu? Yang ada di buku Harry Potter? Namanya Beauxbatons. Dibaca 'bobatong'. Artinya, tongkat yang cantik. XD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar