Disclaimer : Axis Powers Hetalia © Bang Hidekaz Himaruya. Saya cuma naksir karakter-karakternya doang. :P
Warning : Dark fanfic. Don’t like don’t read. Characters human name. Sedikit bercampur dengan Harry Potter. Namun itu hanya sebatas penggunaan mantra di Harry Potter saja, kok!
Pair : USUK only! Ayoayoayo, USUK lovers! XD
Summary : Arthur dan Alfred bertarung di dalam hutan pada tengah malam. Apa yang sebenarnya terjadi? Check it out :D
Arthur tengah berdiri di depan rumahnya malam itu, menatap langit malam yang bertabur bintang. Angin malam yang dingin berkali-kali menerpanya. Berkali-kali pula ia harus merapatkan pakaiannya, menghangatkan dirinya. Mata hijaunya yang indah menatap langit malam yang luas, bertabur bintang dan diterangi cahaya bulan. Ia sedang mencari, tepatnya menunggu sesuatu.
“Ah!” desahnya pelan. Sesuatu yang bercahaya, melintas di langit. Inilah saatnya, batinnya dalam hati. Pemuda Inggris berambut berantakan itu menggenggam kedua tangannya erat. Dan, inilah saatnya. Saat dia harus memohon sesuatu… pada bintang jatuh.
“Kuharap… Al—” belum selesai Arthur berbicara, sesosok bayangan hitam menariknya. Tubuhnya terhempas dengan keras ke tanah, dan terseret jauh. Arthur terkejut luar biasa, tak menyangka dia akan mengalami ini. Apa yang barusan tadi?
“Damn it! Apa itu barusan?!” serunya marah. Dia hendak berdiri, tapi sosok hitam tadi menerjangnya dan membuatnya terhempas ke tanah kembali.
“BA******!!! Apa-apaan ini!!” teriaknya. Sosok hitam itu mengeluarkan secarik kain dan membekap mulut Arthur dengan kain yang ternyata sudah diberi kloroform. Dan sebagai akibatnya, tentu saja dia tak sadarkan diri. Sosok hitam itu lalu membawa Arthur yang sudah tak sadarkan diri itu pergi ke dalam hutan.
***
Arthur membuka matanya yang terasa berat. Bau menyengat tadi masih memenuhi hidungnya. Kepalanya pusing. Pasti karena terhempas ke tanah dengan ke—tunggu! Kejadian tadi… mimpikah?
Arthur berada dalam kegelapan. Sial, apa-apaan ini? Rupanya, ini bukan mimpi! Tubuhnya sudah sakit karena terhempas dengan keras tadi. Ditambah beberapa anggota badannya yang lecet tergesek tanah yang kasar. Badannya terasa tergencet. Apa-apaan ini?
Ternyata Arthur diikat dengan posisi berdiri di sebuah tiang besi karatan. Penculiknya—sosok hitam tadi—tak menampakkan wajahnya dari tadi.
“Hei, kau! Apa maksudmu membawa aku ke sini, hah?!” teriak Arthur marah. Seketika itu juga, sosok hitam tadi mengacungkan sebuah tongkat, dan berseru, “Imperio!” dan membuat pandangan Arthur kosong.
Bunuh dia, atau kau yang mati.
Suara itu terus bergaung di kepala Arthur hingga ia pergi. Dan anehnya, perintah itu begitu memengaruhinya sampai dia tak bisa melawan; dia harus melakukannya.
***
Alfred mengusap peluhnya; pekerjaannya sudah hampir selesai.
Pemilik Nantucket itu berdiri di tengah ruang kerjanya yang berantakan. Buku-buku dan beraneka macam kertas bertebaran di ruang kerjanya. Itu belum termasuk bungkus makanan dan minuman yang dibuang Alfred sembarangan di ruang kerjanya. Belum lagi beberapa pakaiannya. Sudah dari petang tadi dia berkutat di situ, membersihkan ruang kerjanya—dan diselingi dengan makan hamburger dan minum soda, tentunya.
“Hmmm, dasar Alfred, ternyata kau sangat berantakan…” keluhnya, lalu tertawa kecil. Tiba-tiba, lampu ruang kerjanya berkedap-kedip. Dan PET! Lampunya pun padam. Gelap gulita sekarang. Alfred yang baru sadar langsung kaget dan menepuk dahinya keras-keras.
“Tololnya aku! Kenapa aku bisa lupa mengganti lampu, hah? Ah, sepertinya, pekerjaanku ini belum bisa kuselesaikan hari ini…” katanya kesal. Dengan emosi dia menumpuk buku- buku dan kertas dan menyapu kamar kerjanya asal-asalan.
BRAK!!! Alfred menoleh dengan muka shock. Sapunya yang sedari tadi dipegangnya, terlempar saking kagetnya. Alfred menatap dengan mata membelalak ke arah suara. Yang dikiranya suara tumpukan buku jatuh.
Ternyata bukan tumpukan buku yang jatuh.
Melainkan Arthur.
Ya, Arthur. Mengenakan jubah berwarna hitam yang berkibar di belakangnya, diterpa angin malam. Dan membawa pedang panjang di tangannya. Mata hijaunya kosong dan menatap Alfred dengan tampang dingin. Dan… detik berikutnya, ia sudah mengacungkan pedang panjangnya itu, masih dengan mata dan tatapan yang kosong… tepat di depan Alfred.
“Ar… thur?” bisik Alfred tak percaya, berusaha memanggil ‘kakak’-nya.
“Alfred F. Jones, bersiaplah…” desis Arthur, nyaris tanpa emosi, suaranya dingin.
“Arthur, kau… kau kenapa?” tanya Alfred cemas.
“Bersiaplah UNTUK MATI!” dan dengan sekali ayun, pedang Arthur menebas buku-buku yang bertumpukan di tempat yang tadinya Alfred berada. Untunglah, Alfred masih sempat menghindar sebelum pedang mematikan itu menebas lehernya.
“Akh! Arthur, Arthur, Arthur, kau mendengarku? Apa yang kau lakukan ini, Arthur? Kau sudah gila?!” tanya Alfred bertubi-tubi, panik.
Arthur tidak menjawab. Tangannya masih saja mengayunkan pedang dengan brutal. Dan Alfred baru menyadari, ini sudah serius. Ini tidak main-main. Dia harus menghadapi Arthur. Bukannya malah menghindar dari serangannya terus-terusan.
Alfred mengambil senapan di mejanya dan berlari keluar ruang kerjanya. Ia harus lari. Berlari, membawa Arthur ke tempat yang jauh. Arthur yang melihat Alfred kabur langsung mengejarnya. Dan mereka berdua berlarian, saling mengejar… di bawah langit malam yang pekat.
Ayo, Al. Bawa Arthur pergi jauh. Ke dalam hutan!
Alfred sengaja tak berlari kencang; dengan harapan Arthur tak kehilangan jejaknya. Tapi, begitu mendengar langkah Arthur semakin keras, dia mempercepat larinya, masuk ke dalam hutan yang gelap.
SREEEEET!
Sebilah pisau belati menembus lengan baju Alfred, dan menancap di batang pohon. Alfred terkejut. Dia tak bisa bergerak sekarang; kedua tangannya—tepatnya lengan bajunya—menancap di pohon beserta belatinya. Senapannya terjatuh di dekatnya. Alfred mencoba melepaskannya, tapi sia-sia: pisau itu sangat kuat. Alfred mengerang, mencoba menarik tangannya.
“Wah, wah, wah. Alfred F. Jones, kau cukup berani menghadapi kematian, rupanya,” tawa Arthur dingin sambil mendatanginya perlahan.
“Kau tahu, kenapa aku melakukan ini semua?” tanya Arthur. Alfred bergidik, lalu menggeleng perlahan.
“Aku sudah bosan berhubungan denganmu, dan kupikir… membunuhmu merupakan suatu hiburan bagiku yang bosan bertahun-tahun selalu mengurusmu…” jawabnya dingin.
“Kau tidak serius, kan, Arthur?!” teriak Alfred khawatir.
“Aku tidak main-main, Al. Aku serius.” Arthur menjawab dalam bisikan perlahan. Alfred membelalak, lalu memejamkan matanya. Pikir, pikirkan! Batinnya. Arthur… ada apa dengannya? Alfred membuka matanya dan melihat Arthur sedang mengangkat pedangnya, yang berarti satu hal baginya: dia mati atau melepaskan diri.
Alfred berhasil menarik tangannya, tepat ketika Arthur mengayunkan pedang ke arahnya. Alfred merintih ketika merasakan pedang Arthur mengenai lengannya, walau hanya sekejap. Dia berguling dan berusaha berdiri.
Alfred gemetaran; lengan bajunya sobek. Dan sobekan lengan bajunya ada di pohon tempat dia berdiri tadi, masih menancap bersama belati perak itu. Pergelangan tangannya yang sedikit kena tebas pedang Arthur, walaupun sedikit, sakitnya luar biasa. Darah merembes dari lengan bajunya. Alfred memegang lengannya yang berdarah, menatap Arthur dengan pandangan nanar. Mata hijau Arthur yang kini terlihat kosong balas menatapnya, wajahnya yang diterangi cahaya bulan tanpa ekspresi.
“Arthur Kirkland…” desis Alfred pelan.
“Jangan berani-beraninya kau memanggilku seperti itu,” sahut Arthur pelan. “Sekarang, berdirilah dan hadapi aku sebagai laki-laki sejati.”
“A-apa yang kau katakan? Ar-Arthur—“ kata Alfred tertahan. Lagi-lagi Arthur mengayunkan pedangnya. Tanpa main-main, Alfred mengacungkan senapannya tepat mengarah ke wajah Arthur. Alfred mengayunkan senapannya, berusaha menyingkirkan pedang Arthur. Tak disangka, Arthur hilang keseimbangan dan jatuh ke depan. Alfred terjengkang, tak mau kejatuhan Arthur. Mereka berdua terjatuh, dan hampir saling menindih. Senapan Alfred masih mengacung ke wajah Arthur yang berkilau kena keringat.
“Alfred F. Jones, aku tidak main-main. Aku akan membunuhmu malam ini, di sini, sekarang juga!” Arthur berguling, lalu meraih pedangnya dan berdiri. Matanya yang kosong menatap Alfred tajam. Alfred berusaha berdiri. Sedikit terhuyung karena pusing, ia mengangkat senapannya dan berusaha sekuat tenaga untuk menembak mati Arthur; kalau ia bisa melakukannya.
Jari-jarinya gemetaran ketika ia berusaha menarik pelatuk senapannya.
Lakukan, lakukan, ayo, lakukan! Bunuh dia… atau, kau yang mati…
Tek, tek, tek. Alfred menelan ludah gugup. Apa-apaan ini? Ada apa dengan senapannya? Berkali-kali ia menekan pelatuknya, tapi tak ada peluru yang keluar. Mungkin karena ia gugup. Mungkin. Alfred menarik napas panjang perlahan, berusaha untuk rileks. Tiba-tiba saja, dia ingat.
SIAAAAAALLLL, gue lupa ngisi ulang peluru senapan gue!!!!
Alfred mengutuk dirinya dalam hati sambil meremas-remas tangannya jengkel. Sialaaaannn, ternyata senapannya tidak banyak membantu di saat-saat seperti ini!
Di hadapannya, Arthur menatapnya kosong, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dialah yang menang, dialah yang membunuh Alfred di sini, sekarang juga. Senyum sinis melebar di wajah Arthur, ketika ia maju dan lagi-lagi mengayunkan pedangnya. Alfred maju dengan gagah, ia menangkis serangan Arthur dengan senapannya. Heh, ternyata senapan juga cukup berguna walaupun tak berisi timah panas itu.
“Ar… thur…” panggil Alfred pelan, ketika tengah menangkis serangan Arthur—yang bertubi-tubi dilakukannya.
“Rupanya kau memilih mati ketika bertarung, bukannya mati tanpa perlawanan. Perbuatan mulia, itu. Sangat kepahlawanan,” sindir Arthur sebelum tertawa sinis. Alfred membelalak. Bukan, ini bukan Arthur yang asli. Dia… Arthur… entah kenapa… dan tiba-tiba saja dia paham. Ya, dia kan HERO! Pahlawan berani membela kebenaran sampai mati, bukan? Dan inilah… inilah kebenaran itu. Hadapi kematianmu dengan gagah berani!
Alfred mengambil langkah mantap; ia mengayunkan senapannya sekuat tenaga ke arah Arthur. Dan ternyata, itu berhasil. Senapannya berhasil menyingkirkan pedang Arthur, membuat pemuda beralis tebal itu tak punya senjata untuk melawannya.
“Arthur, tolong dengarkan aku!” pinta Alfred, suaranya bergema di sekeliling hutan. Awan-awan menutupi bulan, membuat tempat itu mendadak menjadi gelap. Arthur terdiam. Mungkin karena takut tak punya senjata.
“Arthur… kupikir… kau… selama ini… ternyata… kau…” napas Alfred putus-putus saking cemasnya. Pikirannya kacau; dirinya masih mencoba mencerna perbuatan Arthur sekarang ini. Di depannya, Arthur terpaku, tak berani menyerang. Rupanya ia terkejut karena Alfred mendadak khawatir seperti itu.
“Kalau kau… mau tahu… aku… aku… a-aku sangat sayang padamu, Arthur… dan mana mungkin, kakak… kakak yang sangat penyayang sepertimu, Arthur… tega… tega membunuhku? Kakak… kakak macam apa ini kau, Arthur?!” teriak Alfred frustasi, matanya memanas. Dan sedetik kemudian, air mata mengalir di wajah Alfred, membuat wajah Arthur mendadak sekeras batu.
“Tak kusangka… Arthur… ternyata, kau, kau… selama ini… ternyata kau…” Alfred terisak, dirinya jatuh dan menangis.
“Ke—kenapa, Arthur… kenapa? Kenapa kau… tega…” bisik Alfred, masih terisak, air matanya mengalir deras. Arthur tiba-tiba merosot jatuh, tangannya mencengkeram rambutnya erat-erat.
Bunuh Alfred. Bunuh dia! suara itu meraung-raung di dalam kepala Arthur.
Tidak, aku tidak akan… dan tidak mau membunuhnya! hati kecil Arthur melawan suara aneh di dalam kepalanya.
Bunuh dia! Atau, kau yang mati! suara itu makin mendesak Arthur.
TIDAK MAU! Lebih baik, aku yang mati daripada menyaksikan adik angkatku terbunuh olehku! Arthur berusaha keras melawan suara yang makin lama makin bergaung keras di kepalanya.
Bunuh dia… bunuh… bunuh!
“TIDAK MAU, DEMI TUHAN!” teriak Arthur tiba-tiba. Alfred terkejut; dia menghampiri Arthur dan mengguncang-guncangnya perlahan.
“Arthur! Arthur! Ada apa?”
“AKU BERSUMPAH TIDAK AKAN MEMBUNUH ALFRED, YOU’RE JERK!!” teriak Arthur lagi, membuat Alfred kian shock.
Arthur… dia… dimantrai?
Mendadak, Alfred paham. Arthur… dia… dia dimantrai oleh seseorang! Dan seseorang itu… berambisi ingin membunuhnya!! Arthur… dia kakak yang hebat. Bisa melawan semua mantra hitam itu!
“Arthur… sadar, Arthur!” kata Alfred cemas. Lalu tanpa pikir panjang, dirinya memeluk Arthur dan menangis.
“Al… fred…?” panggil Arthur lemah. Alfred membuka matanya dan menatap wajah lelah Arthur.
“Ya, Arthur?” kata Alfred lega. Dia menghapus air matanya dan melepaskan pelukannya. Mereka berdua terduduk lemas di tanah.
“Ah… hahaha… kupikir, Arthur… kau… kau… kau benar-benar berniat…” tawa Alfred, yang tiba-tiba menangis lagi.
“Al… maafkan aku… aku… sudah membuatmu panik, yah? Maafkan aku… itu… bukan kemauanku, sama sekali bukan… ada seseorang… yang menculikku dan… memantraiku supaya membunuhmu…” jelas Arthur lambat-lambat sambil menunduk. Dari suaranya, Alfred menebak Arthur pastilah menangis juga.
“Arthur… kau kakak yang hebat.”
Arthur tersentak. Baru sekali ini Alfred berkata seperti itu padanya.
“Bukan, Al… aku bukan kakak yang hebat.” Arthur membantah, menggelengkan kepalanya sambil memeluk Alfred sekali lagi. Membuat Alfred terkejut.
“Aku serius, Ar… kau hebat. Bisa melawan semua mantra itu… dan…” Alfred tak kuasa melanjutkan kalimatnya; ia semakin terisak.
“…”
Terima kasih, Alfred…
Mereka berdua pun menangis dan berpelukan di dalam hutan yang perlahan mulai diterangi cahaya bulan. Sebagai saudara, tentu saja. Mana ada orang yang tega membunuh saudaranya sendiri? Kalau ia sudah sinting, mungkin saja. Tapi itu tak akan terjadi pada orang yang waras.
Tahukah kalian, apa permintaan Arthur saat melihat bintang jatuh tadi?
Kuharap, Alfred dan aku akan terus hidup bahagia bersama sebagai saudara…
-THE END-
A/N : Yuhuuu, akhirnya, fanfic singkat ini bisa saya tamatkan!! *jejingkrakan* Kekurangannya, mungkin banyak. Kurang menyentuh, dan banyak pengulangan kata? Yah, saya kan baru belajar. Huahaha! *ngeles*
-OMAKE- (wajib dibaca untuk mencairkan suasana tegang) - warning: super gaje!
Mereka berdua pun menangis dan berpelukan di dalam hutan yang perlahan mulai diterangi cahaya bulan.
Ternyata adegan itu terekam dalam handycam milik si mesum Francis dan kamera milik si penyuplai-foto-semacam-ini, alias Kiku.
Francis : “Hahaha, abang penasaran apa reaksi mereka berdua kalau tahu kita mengintip adegan romantisnya ini~~~ wuhuuuww!”
Kiku : “Entah kata-kata apalagi yang akan keluar dari mulut Aasa-san kalau tahu kita mengintip ini…”
Esok paginya. Alfred tengah membuka blog Kiku. Dan… jreeeeng! Dia nyaris jantungan membaca headline blog Kiku!
HEADLINE TER-‘HOT’ BULAN INI: ARTHUR-ALFRED BERPELUKAN, UHUY! (by Francis Bonnefoy)
“Semalam, Arthur dan Alfred berpelukan di dalam hutan, diterangi cahaya bulan, sangat romantis, uhuy! Abang Francis punya videonya, loh, dan Kiku alias pemilik blog ini punya fotonya! Silakan lihat di galeri foto!”
Alfred cengo berat waktu liat galeri Kiku yang isinya penuh foto-foto dan video tentang kejadian semalam—sewaktu dia memeluk Arthur! Oh siallll, ingin rasanya Alfred membantai Francis!!
Di tempat lain pada waktu yang sama, Arthur juga tengah membuka blog Kiku atas saran Yao (yang dikasih tau Francis sendiri). Coba tebak reaksinya?
“AN****!! BA****AN! BA*****!! SINTING LO SEMUA!!!!!!! @#$%&*!!!!”
(Omake yang sangat gaje dan garing... *pundung*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar