Rabu, 16 Maret 2011

Jepang dan Kegalauan Saya

Akhirnya. Saya menulis lagi. Kali ini saya sedang bad mood. Rasanya saya hanya bisa mengeluarkan unek-unek saya di blog ini. Dan saya tidak bisa membaginya dengan Ayu, apalagi Hida. Terlalu... sakit. Dan saya selalu susah mengatakan sesuatu lewat lisan. Menulis adalah hidup saya. Jadilah, menulis saya jadikan media untuk menumpahkan isi hati yang sedang galau.

Mengapa saya menulis Jepang pada judulnya? Ya, karena bencana alam yang terjadi tanggal 11 Maret kemarin di Jepang, sontak membuat saya sedih. Negeri Matahari Terbit itu, sedang kehilangan sinarnya. Redup. Dan lagi, itu terjadi dua hari sebelum ulang tahun saya yang ke-13, 13 Maret. Yah, mungkin itulah satu-satunya hari di mana saya bersuka cita dalam duka.

Saya tidak percaya mitos angka 13, dan tak akan pernah percaya. Saya tidak mau mengatakan bahwa kesialan selalu datang pada angka 13. Saya miris, dan sedih. Ya. Mendengar bahwa Jepang diguncang gempa dan dihantam tsunami, membuat saya tersentak dan terpaku. Membuat saya menangis. Ya, saya tidak bohong. Rasanya mata ini ingin menangis, tapi... tidak bisa. Susah.

Yang membuat saya bernapas lega, saya mempunyai teman yang sedang kuliah di sana. Beruntung, sewaktu bencana itu datang, dia sedang berada di Indonesia. Alhamdulillah. Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi apabila dia masih ada di Jepang. Tidak bisa!

Ya Allah, terima kasih. Saya tidak pernah terkena bencana seperti itu, diuji sedemikian berat—tapi kenapa saya tak pernah bersyukur? Kami ini aneh, Ya Allah. Mereka yang congkak tak pernah Kau uji, tapi mereka—mereka yang hidup saja sudah susah, mengapa masih saja Kau timpakan cobaan? Sungguh. Saya benar-benar... miris.

Sungguh, saya benar-benar ingin menolong mereka yang berada di Jepang. Sangat. Tapi... saya tidak tahu harus bagaimana. Apakah cukup hanya dengan doa? Saya tidak tahu. Tapi, siapa yang bisa mengukur kekuatan sebuah doa? Hanya Allah yang tahu.

Yang membuat saya benar-benar... ugh, sangat... marah, ketika dua sahabat saya itu malah berkata, “Kenapa Jepang nggak hancur saja, sih?” Astaghfirullah. Saya tidak mau marah, tapi... kenapa... mereka berkata seperti itu? Coba bayangkan, bagaimana kalau itu terjadi pada Indonesia?

“Aku kan pengusaha! Nggak menyangkut negara!” begitu kata Ayu. Ah. Mungkin saya yang terlalu fanatik pada Jepang. Mungkin. Tapi... saya... saya benar-benar sedih! Di sisi lain, saya juga kagum dengan Jepang yang cepat tanggap. Mereka bisa dengan cepat mengevakuasi warganya. Salut untukmu, Jepang :)

Beberapa kali saya mencoba menulis fanfic tentang bencana itu. Tapi... susah. Saya tahu, ide tidak bisa dipaksa keluar. Namun kemarin, setelah agak tenang, akhirnya ide pun mengalir. Alhamdulillah.
Mungkin ini yang bisa saya lakukan untuk menolong mereka. We’ll always help you, Japan!

Kenapa di dunia ini... masih banyak orang yang tak punya perasaan? Sinting.

Tapi yang pasti, saya tahu ada banyak orang yang selalu mendukung Jepang. Saya tahu, dan saya yakin.

Saya ingin sekali membantu Jepang. Ingin sekali. Tapi entah bagaimana caranya. Saya tidak tahu. Mungkin dengan doa. Atau dengan tulisan?

Mendadak, saya punya cita-cita baru: menjadi seorang Duta Besar.

Saya cinta Jepang, dan saya juga cinta Indonesia. Selalu.

We love you, Japan. Forever and always.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar